Home » » MISI PROFETIK DAN KUNGKUNGAN KAPITALISME

MISI PROFETIK DAN KUNGKUNGAN KAPITALISME

Written By MUHAMMADIYAH BONE on Jumat, 26 Agustus 2011 | 19.49



                                                       PENGANTAR
Peradaban manusia zaman ini telah mengalami signifikansi yang sangat cepat menerobos ruang dan waktu. Begitupun pergumulan masyarakat duna yang makin memanas dengan berbagai bentuk senjata dan kendaraan yang dibawanya, benturan peradaban pun tak terelakkan sebagaimana perediksi Samuel Huntintong dalam sebuah tesisnya “the class of civilation”. Sebuah tantangan yang maha berat untuk keluar sebagai pemenang.

Dalam konteks kekinian, realitas itu kemudian dapat kita simak dan baca ; pergumulan dan benturan tersebut pada akhirnya menjadikan rezim kapitalisme sebagai pengambil alih singgasana dunia dan tetap bertengger dengan angkuhnya sampai detik ini. Islam belum mampu menampakkan eksistensinya sebagai agama yang diakui sang pencipta (inna dina indallahi islam), sekaligus sebagai umat terbaik (khairu umma). Tokoh nomor satu didunia dan paling diakui (Muhammad SAW) dalam mengantarkan masyarakat Arab pada tingkat peradaban paling tinggi tak mampu diwarisi oleh umatnya. Misi profetik masih tetap menggantung di awan- awan.

Islam dengan misi profetik dalam kerangkeng kapitalisme akankah mampu menujukkan kekuatan eksitensi dan kejayaanya kembali sebagaimana yang kita dambakan? Sebuah diskursus dalam membandingkan kedua bentuk peradaban yang sangat paradoks ini akan kita ulas agar keduanya dapat kita pahami bersama.

MISI PROFETIK
Istilah Profetik
Profetik telah menjadi term bagi anak-anak ikatan untuk senantiasa di
tadabburi dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kata profith berarti risalah, ajaran, tanggung jawab, beban dan atau amanah yang harus dilanjutkan.

Sebuah hadits Nabi SAW yang mengatakan ‘ulama adalah pewaris nabi’. Ulama adalah istilah dalam bentuk jama’, dalam bentuk tunggal disebut ‘alim yang berarti orang yang berilmu, baik itu ilmu agama dan ilmu umum lainnya sepanjang orang itu menjiwai ilmunya dengan pesan- pesan langit dan pesan manusia paripurna Muhammad SAW.  Warisan nabi adalah risalahnya yang harus diperjuangkan secara estafet sepanjang masa, dari dari generasi kegenerasi. Istilah pewarisan mempunyai derajat yang berbeda-beda, para cendekiawan muslim setidak- tidaknya merupakan bagian dari ulama, karena secara harfiah ulama adalah cendekiawan. Oleh karena itu, para cendekiawan muslim dapat juga disebut sebagai pewaris nabi, dan orang-orang muslim lainnya yang tetap berpegang teguh pada risalah kenabian. Ali Syari’ati dalam pandangannya bahwa cendekiawan adalah yang menguasai “ajaran islam”, atau seorang Islamologis. Al Qur’an telah memberikan penjelasan dengan istilah khusus ulil albab. Ulil albab secarah harfiah diartikan sebagai “orang-orang berakal”, “orang yang mempunyai pikiran “, atau dalam terjemahan Inggrisnya lebih tepat sebagai men of understanding, men of wisdom.

Mempraktisiskan Misi Profetik
Dalam membumikan misi ini tentunya diperlukan sebuah jamaah dalam hal ini umat islam itu sendiri sebagai pengaku umatnya Rasul SAW . Dan yang paling fundamental adalah bagaimana menyebarkan keyakinan atau iman kepada Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa (tauhid). Sekalipun ajaran tauhid senantiasa ditekankan, namun seiring dengan itu wahyu juga mengajarkan gagasan- gagasan sosial, ekonomi, kemasyarakatan dan kebudayaan. Intinya adalah Islam membawa misi perubahan sosial yang bersumber dari pencipta langit dan bumi yang kemudian diajarkan oleh Rasulnya dan pada akhirnya diwariskan kepada umatnya. Islam bukanlah agama personalitas/ individualistic dengan mengutamakan kesalehan pribadi tetapi Islam pun juga sebagai agama sosial dengan kesalehan sosialnya. Islam akan mengalami kejumudan ketika ia hanya sebatas ritual-ritual pribadi sebagaimana sebagai kaum sufistik dengan menafikan pembebasan- pembebasan sosial.
 
Erich Fromm memberikan beberapa cirri misi kenabian prophency, nubuah. (Dawam Raharjo; 1999, 121). Pertama, nabi selalu mengabarkan tujuan hidup menuju Tuhan, sehingga dengan mendekatkan diri kepada Tuhan kehidupan manusia itu menjadi lebih manusiawi. Kedua, cara Nabi menyadarkan manusia agar manusia bisa mengatur perilaku mereka adalah dengan memberikan alternative- alternative dengan konsekuensinya masing- masing. Dengan itu manusia bisa menentukan pilihan berdasarkan kesadaran dan kebebasan mereka sendiri, fujur atau takwa. Ketiga, nabi memiliki hati nurani rakyat banyak dan melakukan protes terhadap tindakan- tindakan manusia yang salah. Keempat, nabi tidak hanya mengajarkan keselamatan pribadi (personal salvation), tetapi juga keselamatan masyarakat (social salvation). Dan kelima, nabi mengilhami kebenaran. Dari semua misi ini merupakan suatu kesatuan profetik.
Wifrid Scan Blunt, Futurolog Inggris sejak seabad lalu dalam The Future of Islam yang terbit di London meramalkan bahwa kebangkitan Islam akan terjadi dalam waktu yang tak lama lagi. Hal ini didorong empat factor yang mendukungnya, yaitu ibadah haji, adanya khalifah, kota suci Mekah yang mempertemukan umat Islam seluruh dunia dan adanya semangat reformasi. Pernyataan futurology tersebut mengisyaratkan bahwa Islam adalah agama yang memiliki kekuatan yang maha dasyat dengan berbagai keajaiban dan kekuatan yang paling besar (the big of power) adalah nilai- nilai ketauhidannya, ketika tauhid telah menyatu maka lahirlah Abu Bakar, Umar, Khalid, Bilal, baru kepermukaan bumi. Daya dobraknya akan membalikkan dunia pada zaman Rasulullah SAW.
Proses pembumisasian misi profetik ini pada hakekatnya tergantung dari kesadaran dari umat Nabi sebagai pewaris sebab ketika telah mampu mencandra teks normative dan nonnormative yang tersebar di jagad raya (makrokosmos & mikrokosmos) berarti kita tinggal melakukan agenda aksi seraya melakukan penelaan terhadap realitas social. Berbagai strategi telah diuraikan oleh Sang Pemilik jagad dalam lembaran shuf Al Qur’an.
Rasulullah SAW. Membawa misi pencerahan baik pribadi maupun sosial, reformasi dan furifikasi yang dibawanya ketika mampu diaktualisasikan oleh umatnya, maka keadilan dan kemakmuran akan tercapai. Namun kemudian kapitalisme global menghadang didepan kita, seperti yang dikemukakan oleh Huntintong bahwa dalam kancah perang peradaban maka kemungkinan besar Islam akan menang olehnya itu strategi jitu untuk menghancurkan Islam adalah dari dalam tubuhnya sendiri dengan virus kapitalismenya yang amat halus karena kapitalisme adalah sebuah modus eksistensi manusia meminjam istilah Husain Heriyanto. Apa dan bagaimana kapitalisme itu sebenarnya ???
PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN KAPITALISME
Kapitalisme adalah system perekomian yang menekankan peran capital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya termasuk barang-barang yang digunakan dalam produksi barang lainnya (Bagus,1996). Ebestein (1990) menyebut kapitalisme sebagai system sosial yang menyeluruh, lebih dari sekedar system perekonomian. Ia mengaitkan perkambangan kapitalisme sebagai bagian dari gerakan individualisme. Sedangkan Hayek (1978) memandang kapitalisme sebagai perwujudan liberalisme dalam ekonomi.
Robert E. Lerner dalam western civilation (1988) menyebutkan bahwa revolusi komersil dan industri pada dunia moderen awal dipengaruhi oleh asumsi-asumsi kapitalisme dan merkatilisme. Direduksi kepada pengertian yang sederhana, kapitalisme adalah sebuah system produksi, distribusi dan pertukaran dimana kekayaan yang terakumulasi diinvestigasikan kembali oleh pemilik pribadi untuk memperoleh keuntungan. Kapitalisme adalah sebuah system yang didesain untuk mendorong ekspansi komersial melewati batas-batas local menuju skala nasional dan internasional. Kapitalisme memanipulasi pasar untuk keuntungan mereka sehingga Karl Marx menyimpulkan bahwa imperialisme adalah kepanjangan tangan dari kapitalisme.
Sistem kapitalisme, menurut Ebstein (1990), mulai berkembang di Inggris pada abad 18 M dan kemudian menyebar luas kekawasan Eropa Barat Laut dan Amerika Utara. Risalah terkenal Adam Smith, yaitu The Wealth of Nations (1776), diakui sebagai tonggak utama kapitalisme klasik yang mengepresikan gagasan “laisez-faire” dalam ekonomi.
Awal abad 20 kapitalisme harus menghadapi berbagai tekanan dan ketegangan munculnya kerajaan-kerajaan industri yang cenderung menjadi birokratis uniform dan terjadinya konsentrasi pemilikan saham oleh segelintir individu kapital memaksa pemerintah (barat) mengintervensi mekanisme pasar melalui kebijakan-kebijakan seperti undang- undang antimonopoly, sistem perpajakan, dan jaminan kesejahteraan. Fenomena intervensi Negara terhadap sistem pasar dan meningkatnya tanggung jawab pemerintah dalam masalah kesejahteraan sosial dan ekonomi merupakan indikasi terjadinya tranformasi kapitalisme.
Prinsip dasar kapitalisme
Ayn Rand dalam Capitalism (1970) menyebutkan tiga asumsi dasar kapitalisme, yaitu: (a) Kebebasan individu, (b) Kepentingan diri (selfifhness), dan (c) pasar bebas. Menurut Rand, kebebasan individu merupakan tiang pokok kapitalisme. Karena dengan pengetahuan hak alami tersebut individu bebas berfikir, berkarya dan berproduksi untuk keberlangsungan hidupnya. Pada gilirannya, pengakuan institusi hak individu memungkinkan individu untuk memenuhi kepentingan dirinya. Menurut Rand, manusia hidup pertama-tama untuk dirinya, bukan untuk kesejahteraan orang lain. Rand menolak keras kolektivisme, altruisme, mistisme. Konsep dasar bebas Rand merupakan aplikasi sosial dan pandangan epistimologinya yang natural mekanistik-kapitalistik.
Menurut Heilbroner (1991), kapital bukanlah suatu benda material saja, melainkan suatu proses yang memakai benda-benda material sebagai tahap-tahap dalam eksistensi dinamikannya yang berkelanjutan. Kapital adalah proses sosial, bukan proses fisik. Dengan demikian, hakekat kapitalisme menurut Heilbroner adalah dorongan tiada henti dan tanpa puas untuk mengakumulasi capital sebagai sublimasi dorongan bawah sadar manusia untuk merealisasikan diri, mendominasi, berkuasa. Karena dorongan ini berakar pada jati diri manusia, maka kapitalisme lebih merupakan salah satu modus eksistensi manusia. Mungkin inilah sebabnya mengapa kapitalisme mampu bertahan dan malah menjadi hegemoni peradaban global.

Kekuatan Kapitalisme
Pertama, daya adaptasi dan transformasi kapitalisme yang sangat tinggi, sehingga ia mampu menyerap dan memodifikasi setiap kritik dan rintangan untuk memperkuat eksistensinya. Sebagai contoh, bagaimana ancaman pemberontakan kaum buruh yang diramalkan Karl Marx tidak terwujud, karena disatu sisi, kaum buruh mengalami pembekuan kesadaran kritis (reifikasi), dan disisi lain, kelas borjuis capital melalui Negara memberikan “kebaikan hati” kepada kaum buruh dengan konsep “welfare satate”. Pada gilirannya, kaum kapitalis memperoleh persetujuan (consnt) untuk mendominasi masyarakat melalui apa yang disebut Gramsci sebagai hegemoni ekonomi, politik, budaya, atau seperti yang disebutkan Heilbroner bahwa rezim capital memiliki kemampuan untuk memperoleh kepatuhan massa dengan mewujudkan “patriotisme” ekonomi. Kedua, berkaitan dengan pertama, tingginya kemampuan adaptasi kapitalisme dapat dilacak kepada waktu inheren pada hakekat kapitalisme, yaitu dorongan untuk berkuasa dan perwujudan diri melalui kekayaan. Atas dasar itulah diantaranya, maka Peter Berger dalam Revolusi Kapitalis (1990) berani bertaruh bahwa masa depan dunia berada dalam genggaman kapitalisme. Ketiga, kreativitas budaya kapitalisme dan kapasitasnya menyerap ide- ide serta toleransi terhadap berbagai pemikiran. Menurut Rand, kebebasan dan hak individu memberi ruang gerak manusia dalam berinovasi dan berkarya demi tercapainya keberlangsungan hidup dan kebahagiaan. Dengan dasar pemikiran ini, Bernard Murchland dalam Humanisme dan Kapitalisme (1992) dengan penuh keyakinan menaruh harapan bahwa kapitalisme demokratis adalah humanisme yang dapat menyelamatkan dunia di masa depan.

ANALISIS TEORI;
Sebuah Perbandingan Realitas Praktis
Setelah kita menyelami hakekat dari misi profetik dan kapitalisme maka beberapa titik kelemahan da keunggulan dari dua peradaban dunia ini dapat kita lihat secara proporsional. Untuk itu kita mulai melakukan pembedahan terhadap kapitalisme dengan mengacu kepada asumsi- asumsi dasar kapitalisme, klaim- klaim pendukung kapitalisme dan praktek kapitalisme:
Pertama, pandangan epistimologinya yang positivistic- mekanistik. Positivisme yang memisahkan fakta dan nilai, bahkan hanya terpaku pada apa yang disebut fenomena fakta dan mengabaikan nilai. Selain itu ketika kita mengkaji lebih jauh ternyata positivisme- materialistic- kapitalis adalah hasil dari sebuah materi bukan dihasilkan dari sebuah pemikiran walaupun ia berasal dari akal tetapi muncul dari fakta/ materi sehingga demikian ia lahir dari sebuah materi dan direspon oleh akal dan menghasilkan sebuah materi pula. Pola pikir positivistic hanya satu dimensi, yaitu dialektika positif, yang pada gilirannya mereduksi kemampuan refleksi kritis manusia untuk mencari makna- makna tersembunyi dibalik fenomena- fenomena. Herbert Marcuse (1991) berkata: … Kapitalisme, yang didorong oleh teknologi, telah mengembang untuk mengisi semua ruang sosial kita, telah menjadi suatu semesta politis selain psikologis. Kekuasaan totalitarian ini mempertahankan hegemoninya dengan merampas fungsi kritisnya dari semua oposisi, yaitu kemampuan berfikir negative mengenai system, dan dengan memaksakan kebutuhan- kebutuhan palsu melalui ikatan, kendali pasar, dan media. Maka kebebasan itu sendiri menjadi alat dominasi, dan akal menyenbunyikan sisi gelap irasionalitas…”. (Husain Heruyanto; 1999)
Kedua, asumsi antropologis yang dianut kapitalisme adalah pandangan reduksionis atau dimensi manusia yang berasal dari rasionalisme aufklarung. Asumsi kapitalisme yang mengandaikan bahwa distribusi kekayaan akan terjadi denga sendirinya apabila masyarakat telah makmur. Melupakan aspek irasionalitas manusia yang serakah dan keji. Dorongan yang tidak pernah puas menumpukkan capital sebagai watak khas kapitalisme merupakan bentuk patologis mengalomania dan narsisme.
Ketiga, keserakahan telah mengakumulasi kapitalisme sehingga eksploitasi terhadap lingkungan hidup telah melampaui ambang batas. Keseimbangan alam terganggu bahkan telah mengalami kerusakan dan kehancuran yang sangat parah yang pada gilirannya menjadi kritis ekologis, antropologis, sosiologis, dehumanisasi.
Keempat, kapitalisme dan materialistic- mekanismenya telah menafikkan sisi batiniah- rohaniah manusia terbelenggu oleh dunia materi. Sehigga kemudian problem moral terabaikan yang penting tidak mengganggu kepentingan/ hak orang lain. Bernard Murchland (1992), seorang pembela gigih kapitalisme, mengakui bahwa masalah yang paling serius yang dihadapi kapitalisme demokratis adalah pengikisan moral. Maka pantas Mangunwijaya (1998) dengan lantang berkata “… Nyatalah, bahwa systm liberal kapitalis, biar sudah direvisi, diadaptasi baru diperlunak sekalipun, dibolak- balik diargumentasi dengan fasih ilmiah seribu kepala botak, ternyata hanya dapat berfungsi dengan tumbal- tumbal sekian milyar rakyat dina lemah miskin diseluruh dunia, termasuk dan teristimewa Indonesia…”
Saatnya membedah praksisme profetik yang ketika dipelajari dan diselami lebih dalam hampir tak ada cacat, memang diakui misi ini dengan mengambil contoh dan ketauladanan dari Nabi tentunya adalah sebuah konsep yang sangat ideal dengan realitas, kejujuran, ketegasan, kebijakan, dan sikap keberpihakan beliau pada penderitaan umat telah menjadi kekuatan moral yang melahirkan masyarakat madani. Kelahiran masyarakat berperadaban ditengah pergumulan pluralistic ini oleh sosiolog agama Robert N. Bellah (1976) dipandang sebagai masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern, bahkan terlalu modern, sehingga tidak bertahan lama dan sangat susah untuk dilanjutkan oleh umatnya kemudian. Maka tak heran apabila Islam sebagai agama pencerahan dan rahmat bagi semesta alam pun dianggap tak mampu memberikan solusi bagi dunia saat ini. Walaupun Norchols Madjis (almarhum) pernah mengatakan bahwa saatnya bangsa Indonesia dapat merealisasikan misi Kerasulan Nabi Muhammad SAW.
Intinya kenapa Islam sampai saat ini belum mampu menampakkan eksistensinya karena konsep ideal yang dicontohkan Nabi SAW tak mampu dijalankan oleh pewaris kerisalahan disebabkan bujukan dan rayuan virus kapitalisme. Disamping itu keterjebakan para cendekiawan dan alim ulama dalam dunia politik praktis dengan melupakan nilai- nilai profetik yang diembannya. Ulama dan cendekiawan Islam seharusnya menjadi wasit dalam pergumulan global bukan turut bermain didalamnya.

Kapitalisme versus Islam adalah sebuah peradaban yang angat bertolak belakang, disatu sisi Islam adalah sifat ketaqwaan dan disisi lain kapitalisme adalah produk dari sifat fujur manusia. 

Ketika pelaku sosial yang diharapkan mampu menciptakan iklim pencerahan ternyata kehilangan arah dan gairah serta spirit penyebar kebenaran dan kebaikan (fastabiqul khairat), maka sulit diharapkan masyarakat dan peradaban kita akan tercapai keemasannya dan menggeser rezim kapitalisme. Hal inilah yang diperingatkan Allah dalam surat Ar Ra’ad (1): “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum (bangsa). Kecuali kaum itu mau (berusaha) mengubah nasibnya sendiri”.
Sebuah tugas berat sedang kita pikul terkhusus bagi anak- anak ikatan yang menjadikan term ini sebagai spirit gerakannya dalam membumikan misi profetik ini. Jangan menunggu kehancuran kapitalisme dari dalam walaupun banyak prediksi bahwa kapitalisme akan hancur dari dalam Negara pengunsungnya sendiri (baca; Amerika dan sekutunya). Wallahu A’lam Bi’as- Shawab.

                                                                                                                                                     
*Oleh : Hardianto Rahman
* Penulis adalah Ketua Umum PC. IMM
   Kab. Sinjai Periode 2005- 2007  
* Tulisan ini pernah diterbitkan pada Jurnal Refleksi 
edisi II, November 2006        
Share this article :

TULISAN TERPOPULER



 
Redaksi : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. MUHAMMADIYAH KABUPATEN BONE - All Rights Reserved