Penanganan Korban Banjir Mengedepankan Formalitas dan Festivalisasi Kepedulian
* Anwar Marjan
Penanganan korban bencana banjir atau tepatnya korban luapan air bah
yang ada di Jalan Yosudarso Kelurahan Ta Kecamatan Tanete Riattang
terkesan mengedepankan formalitas dan festivalisasi kepedulian. Niat
baik pemerintah untuk menunjukan kepedulian dengan memberikan bantuan
tidak terasa begitu bermanfaat oleh korban.
Pemberian bantuan
'didramatisasi' sehingga terkesan korban menderita sekali, sehingga
harus diberikan beras dengan kualitas beras miskin, mie instan, kecap,
saus, sabun pembalut wanita, oralit, kantong plastik pasta gigi, sabun.
Untuk
mendapatkan bantuan ala korban banjir itu, korban didata berulang kali,
lalu dimobilisasi untuk berkumpul dalam tenda di Posko bencana, yang
sumpek dan panas dan menunggu berjam-jam untuk dapat bantuan, akibatnya
bantuan itu tidak dirasa meringankan beban, justru menambah, sebab
setelah terbebas dibawa tenda panas itu banyak korban mengeluhkan pusing
dan sakit kepala.
Kalau memang mau membantu, kenapa bantuan itu
tidak diserahkan langsung kerumah korban masing-masing, sekaligus Bupati
dan jajaran serta unsur Muspida bisa melihat langsung kondisi korban
banjir, toh korban hanya 40 kepala keluarga saja. Atau kalau memang
korban mau dikumpulkan dan diberikan pengarahan, kenapa tidak dikumpul
di aula polres Bone, biar tempatnya sedikit layak.
Sebenarnya
korban tetap berterima kasih dengan bantuan, tapi jujur barang-barang
seperti itu sangat mudah didapatkan, karena kemampuan daya beli korban
masih memungkinkan membeli barang seperti, selain itu mie instan, softex
sikat gigi dan lainya itu dengan mudah didapatkan dikios yang ada
disekitar lokasi banjir.
Yang dibutuhkan korban sebenarnya:
Pertama:
Rasa aman. Hingga saat ini korban masih trauma dengan luapan air.
Berdasarkan analisa sementara warga penyebab utama luapan air karena
pintu air di Jalan Sambaloge baru dan Jln Pramuka dibuka lebar, sehingga
air bah tertumpah ke pemukiman warga di Jlan Yosdarso.
Pemerintah
seharusnya memberikan jaminan rasa aman kepada korban dan warga lainya
dengan menempatkan petugas dipintu air 24 jam untuk beberapa waktu
kedepan sampai cuaca kembali normal. Selanjutnya tenaga tekhnis yang ada
dikerahkan untuk membersihkan saluran drainase yang diperkirakan
tersumbat yang menyebabkan air meluap. Berikutnya instansi terkait
mengeluarkan telaah (prediksi penyabab air meluap) dan solusinya. Dan
jika tidak membutuhkan dana yang terlalu besar maka bisa dianggarkan
dalam anggaran perubahan dan dikerjakan dalam waktu dekat ini.
Kedua:
yang dibutuhkan korban adalah penanganan kesehatan, baik korban maupun
lingkungan. Pejabat terkait kelihatannya telah melaporkan kepada bupati
kalau tenaga kesehatan disiapkan diposko penangulangan bencana. Tapi
yang terjadi tenaga kesehatan tidak jelas batang hidungnya, kalaupun ada
yang diberikan hanya oralit saja. Padahal korban banyak yang mengeluh
pusing, ada anak balita yang muntaber dan lainnya. Sementara pemukiman
yang sempat tergenang air dikhwatirkan akan menjadi penyebab berkembang
biaknya nyamuk penyebab penyakit DBD, jadi seharusnya dilakukan fogging.
Ketiga:
Kebutuhan yang sifatnya mendesak, misalnya beras atau kebutuhan lain,
tapi tentu kebutuhan tiap rumah tangga akan berbeda-beda, sehingga akan
lebih tepat jika bantuan diberikan dalam bentuk uang saja. Mohon jangan
disamakan jika terjadi Banjir di Uloe dan sekitarnya, disana memamg
seharusnya diberikan makan yang siap saji karena korban tidak punya
akses untuk mendapatkan kebutuhan dengan muda.
Itulah perlunya
semua level pemerintahan, punya pradigma berpikir yang profesional dan
proporsional, serta standar pelayanan yang jelas.
DRAMATISASI KORBAN BANJIR
Written By MUHAMMADIYAH BONE on Rabu, 15 Mei 2013 | 16.36
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.