Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan mahasiswa yang memproklamirkan diri untuk berkomitmen pada trisula perjuangan yaitu kemahasiswaan, kemasyarakatan dan keagamaan, kini dihadapkan pada kondisi yang sudah tidak bisa ditutup-tutupi lagi, bahwa ikatan ini telah bernostalgia bahkan sedang asyik-asyiknya dengan yang namanya stagnansi. Betapa tidak? Dunia yang hingar bingar dengan berbagai peristiwa dan kejadiannya yang semakin hari semakin membuat kita mengerutkan dahi, baik itu tingkat lokal lebih-lebih pada tingkatan nasional tak mampu kita baca dengan dengan kritis dan proaktif. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang selalu dan selalu merugikan rakyat seakan hanya iklan yang lewat begitu saja dan sekedar menjadi isi pemenuh pembicaraan kita di warung makan. Jeritan kaum buruh tani, korban PHK, korban penggusuran dan korban kebijakan gila (baca: penindasan tersistem) tidak lagi mampu menembus sumbat di telinga kita, tidak lagi mampu meruntuhkan benteng keegoisan dan kerakusan manusia. Kaum muda yang merasa sebagai kader utama dalam persyarikatan karena memiliki jenjang pendidikan tertinggi dan telah memiliki mindset kemahasiswaan dimana sosok mahasiswalah yang telah terbukti mampu meruntuhkan rezim tirani, kini seakan-akan masa bodoh dan acuh dengan kondisi sosial masyarakatnya. Kesimpulannya ikatan ini sudah tidak memiliki taring lagi untuk merubah kondisi bangsa lebih-lebih rakyat (kaum mustadh’afin). Apakah ini yang disebut sub merged of culture silent-nya Freire? Hanya kader bodoh yang berapologi dengan pendapat itu, dan tidak pantas menduduki pimpinan di IMM, sebagai kader IMM kita tidak dididik untuk menjadi orang yang penakut terhadap siapapun entah itu pemerintah maupun bapak kita sendiri (persyarikatan) ketika memang menyimpang dari khittah perjuangan dan tidak lagi membela kaum yang lemah dan dilemahkan. Bapak kita, founding father IMM, tidak lain adalah Bapak Mohammad Djazman Alkindi pernah mengatakan: “IMM lahir sebagai keharusan sejarah, jika ada yang merintangi maka LAWAN, tidak peduli orang tua sendiri (Muhammadiyah)”. Artinya seharusnya tidak ada keraguan dalam diri kader apalagi pimpinan IMM untuk selalu menggelorakan arus perlawanan terhadap rezim tiran. Belum lagi ketika ditengok kondisi internal ikatan yang mulai tidak terurus, bahkan mulai tereliminasi secara teratur dari pikiran kita. Entah virus apa yang menyebabkan ini semua hingga kita tidak lagi berfikir tentang bagaimana kondisi kader penerus perjuangan dikemudian hari, yang sekarang barangkali sedang sibuk mencari tempat kuliah yang kian hari kian terbatas akses untuk mendapatkannya sehingga muncul slogan “Orang Miskin Dilarang Kuliah!”. Kondisi perkaderan dalam ikatan sedang mengalami kebingungan orientasi dan miskin metodologi, lagi-lagi kita tidak cukup jeli dalam membaca kondisi zaman, kader seperti apakah yang ingin dicetak oleh ikatan ini? Dan bagaimana untuk mencapai itu? Kontekstualisasi mulai menjadi hal yang tabu dalam alam pikiran kita, justru istilah pragmatisme dan kepentingan politis meski masih samar mulai merasuki unsur kunci yang membedakan kita dengan hewan, sehingga lambat laun unsur pembeda tersebut tidak lagi memiliki kapasitas untuk membedakan hal tersebut. Pernahkah kita sejenak untuk menyempatkan mencoba membaca apa yang dipikirkan oleh mbah Djazman seandainya melihat kondisi anak-anak-nya yang sekarang duduk dalam tampuk pimpinan IMM dan juga melihat kondisi kader di tingkat yang paling bawah. Barangkali mbah Djazman akan sangat prihatin dan marah besar karena pesan-pesan progresif beliau sudah dilupakan, namun beliau tidak lagi mampu untuk berbuat hal tersebut, sehingga sekarang siapa yang dapat merubah kondisi ini semua? Anda benar, hanya kitalah yang dapat melakukan perubahan tersebut. Perubahan yang tidak tanggung-tanggung, perubahan secara fundamen harus segera dilakukan jika masih ingin Ikatan ini bertahan lebih lama. Kita juga perlu merenungkan sindiran dari Immawan Umar Hasyim paska terjadi kevakuman pimpinan IMM tingkat pusat beberapa dasawarsa silam, “Merenungi sejarahmu, kita jadi heran ….…… suasana dunia di mana anda berada ini demikian gegap gempitanya, tetapi anda bisa lelap tidur”. Ungkapan tersebut tidak hanya relevan pada waktu itu namun kini pernyataan tersebut juga relevan melihat kondisi IMM yang tidak lagi mengedepankan triloginya sebagai orientasi besar perjuangan organisasi, intelektualitas yang mandul, humanitas yang ekslusif dan cederung pragmatis serta religiusitas yang kering akan aroma transformasi sosial. Kalau dulu IMM pusat memang vakum secara struktur namun kini barangkali ‘vakum’ meski masih terdapat strukturnya, yakni vakum dari agenda perubahan dan keberpihakan. Pada akhirnya kita sampai pada salah satu prosesi penting dalam Ikatan ini yaitu Tanwir, permusyawaratan setingkat dibawah Muktamar, bukan hal yang sepele posisi Tanwir ini, sehingga setelah kita melakukan pembacaan diatas maka dalam Tanwir inilah waktunya untuk melakukan perubahan tersebut, perubahan yang akan membawa IMM kembali bangkit dan dapat menajamkan taringnya dalam percaturan sejarah peradaban bumi Indonesia ini dengan visi profetik berusaha membumikan nilai-nilai liberatif sang nabi. Bisa saja kemudian justru dari Tanwir inilah umur IMM kelihatan akhirnya, karena tidak adanya komitmen untuk melakukan perubahan tersebut. Sehingga muncul pertanyaan akankah kejumudan atau perubahan yang akan dijemput oleh IMM??? Abadi perjuangan...bangkit dan melawan… |