| 
 
  Masih ingat   KDI yang menjadi acara popular di sebuah stasius TV Swasta di negeri ini?. Aku   mulai menulis artikel ini ketika teringat sebuah kejadian beberapa tahun yang   lalu. Hari itu, Sambil menunggu tukang sayur, aku mencoba mengobrol dengan   salah satu tukang becak ( kendaraan roda tiga yang dikayu secara manual) yang   biasa mangkal di depan rumah. Dengan bangganya, dia bercerita tentang salah   satu anak gadisnya yang beberapa minggu ini telah duduk di bangku SMU.   katanya dia ingin menyekolahkan anaknya di salah satu SMU di kota, biar ketika ada pendaftaran KDI, dia   bisa mendaftarkan anaknya masuk audisi. Dia pengen anaknya menjadi terkenal   seperti si bintang-bintang KDI lainnya yang telah berhasil tampil   dipanggung2 di seluruh Indonesia.   Ya, biar menjadi “orang beken ”. Kasus peredaran video-vidio porno   yang dengan sengaja di publikasikan secara otomatis ke sebagian pengguna   ponsel, yang bahkan dilakukan oleh si pelaku adegan porno itu sendiri. Dan   ketika di incar wartawan, dengan santainya dia mengatakan bahwa hal itu   dilakukan hanya untuk menjadi ”orang terkenal ”. Kasus yang tak jauh berbeda,   masih ingat kasus Maria Eva di entertainment, yang telah menarik perhatian   pemirsa televisi, peredaran itu dimaksudkan untuk mendongkrak ketenaran   pribadi biar menjadi ” orang beken” yang menjadi pusat perhatian,   dan masih banyak lagi hal yang serupa yang tak kan pernah kelihatan ujung   pangkal penyelesaiannya. Makin dilakukan maka makin seringdiberitakan di   televisi, di uber oleh wartawan dan akhirnya menjadi ”orang terkenal”. tak   peduli terkenal karena baiknya tau karena buruknya Setiap orang kini ingin   menjadi bintang, khususnya anak-anak remaja. Yang hidupnya dirasuki iklan dan   citra media yang diantarkan melalui teknologi informasi : majalah, papan   iklan, film, televisi, dan kini internet.Sindrom   Orang Beken telah membutakan hati, menghalalkan segala cara bahkan rela   melukai orang-orang disekitarnya. Ternyata sindrom ini bukan hanya di   Indonesia, di negara lain seperti Amerika Serikat pun demikian, untuk menarik   perhatian media, pembunuhan yang dilakukan anak belia pun mejadi peristiwa   yang mengasyikkan.  Dalam suatu jajak pendapat   dikalangan siswa SMU di Amerika, 2/3 responden menjawab ingin menjadi ”orang   beken” ketika ditanya cita-cita mereka. Anak-anak yang menghabiskan   waktu begitu banyak untuk mengunyah gambar dari layar kini ingin tampil sendiri   di layar itu.  Dalam   masyarakat yang dijejali kekerasan fisik dan mental lewat media elektronik,   gambar-gambar yang dulu menyebabkan kita berempati terhadap rasa sakit dan   trauma manusia lainnya sekarang justru merangsang melonjaknya adrenalin untuk   sesaat, mejadi kebal terhadap kesakitan yang dirasakan orang lain –menyatu   dengan kekerasan- tak dapat disangkal lagi merupakan salah satu dari   konsekuensi terburuk yang telah ditimbulkan oleh kemajuan teknologi.   Ketidakpedulian itu berpindah dari layar, televisi, film, internet dan   electronic game ke dalam kehidupan kita sehari-hari melalui teknologi   konsumen yang seakan tampak tidak berbahaya. 
 Bagaimana   dengan pembuat media itu sendiri?, munculnya kritikan dan kecaman keras   terhadap peredaran buku The Da Vinci Code oleh komunitas Vatikan di Roma   ternyata justru meningkatkan daya beli masyarakat sehingga ratingnya menjadi   bertambah, film ”Virgin” pun tak ketinggalan mendapat perhatian dari berbagai   kelas mayarakat. Kasus ”ngebor” nya Inul Daratista semakin menaikkan rating   media, baik media cetak maupun media televisi. semakin mendapat kecaman maka   semakin gencar pula media akan mempublikasikannya, karena ratingnya akan naik   dan lagi-lagi menjadi terkenal bahkan menjadi media idola pemirsa. Di   Amerika, cara untuk diperhatikan di dunia modern yang ingar-bingar ini ialah   menjadi orang yang sangat ekstrem : Madonna, Dennis Rodman, Marlyn Manson   dll. Telah melesatkan karir mereka dengan standar kontemporer yang   menggemparkan, dengan cara yang sama yang dilakukan stasiun televisi untuk   meningkatkan peringkat mereka dengan shockumentaries (dokumentari   yang menggemparkan). Kini,   bagaimana dengan konsumeris media?, setelah media menampilkan suguhan-suguhan   menunya. Bagaimana dampaknya terhadap pemirsanya? Terhadap pembacanya?   Terhadap pelangganya?. Media tak mau peduli, dampak positif negatifnya berita   itu tergantung sejauhmana konsumerisnya menanggapi.  Lalu   siapakah yang pantas di persalahkan ketika anak sekolah dasar terlibat dalam   kasus pembuhan akibat merebaknya tontanan smack down di televisi?   Siapakah yang pantas dipersalahkan ketika seorang pelaku pencabulan dimintai   komentarnya ditelevisi dengan mengatakan hasrat sexsualnya meningkat ketika   habis melihat tontonan film India yang masyhur itu. Lalu siapakah yang pantas   dipersalahkan ketika anak-anak pun ibu-ibu tak lagi mengindahkan waktu-waktu   ibadah hanya karena tak ingin melewatkan momen sedetikpun pada sinetron   kesayangannya?. Orang tua? Pers? objek pemberitaannya? ataukah media itu   sendiri? Atau mungkin teknologi? Bagai   buah simalakama, maka yang terjadi adalah saling melempar kesalahan.   Opini-opini yang bermunculan ternyata hanya bermain dalam lingkaran yang tak   berujung. Apa jadinya jika media selalu menjadi kambing hitam dalam hal   pertanggungjawaban terhadap dampak-dampak negatif yang telah ditimbulkan.   Ketika kesalahan itu dilemparkan kepada media, maka akan banyak tanggapan   kritis yang mengatakan negara tak kan bisa maju tanpa media, masyarakat akan   menjadi semakin bodoh dan tertinggal. Lalu? Menyalahkan para pelaku media   termasuk seniman2, juga akan menimbulkan kontroversi yang begitu hebatnya.   ”ini kan seni, jangan menghalangi kreativitas kami dong, gimana jadinya   negara jika para pelaku media selalu dikungkung”, maka yang terakhir adalah   konsumeris media yang tidak kritis dalam menilai dan memilih media mana yang   layak untuk disajikan untuk dirinya dan untuk keluarganya. Namun ketika   tuduhan itu berakhir pada konsumeris media, maka kepada siapakah kesalahan   itu diarahkan ketika masyarakat telah terjerembab ke dalam lumpur hidup yang   berangsur-angsur akan menyebabkan kehancuran dan kematian?. Jawabnya adalah   Pemerintah sang pengambil kebijakan, pemerintahlah yang harus bersikap adil   dalam melahirkan setiap aturan-aturan yang dibuat. Pemerintah harus objektif   menilai mana yang harus diprioritaskan untuk menjadikan masyarakat yang   bermoral dan cerdas.  Ketika   peristiwa pembunuhan massal yang terjadi diLittleton AS. Presiden Clinton   mengarahkan ucapannya kepada industri hiburan dalam pidato rutinnya di radio,”   kepada media dan industri hiburan, saya hanya bisa mengatakan hal ini :   Anda tahu bahwa anda memiliki kekuatan besar untuk mendidik dan menghibur   anak-anak kita. Ya, memang sudah diatur bahwa harus ada label pada bagian   luar setiap vidio, namun yang penting adalah yang ada di dalamnya dan apa   yang bisa dilakukannya terhadap benak anak-anak muda kita. Saya meminta   ketika Anda membuat video game dan film, bayangkanlah seakan-akan anak-anak   Anda sendiri yang menyaksikannya.” Menjawab   itu semua, beberapa bangsa juga telah menarik garis tegas, menolak   mempublikasikan tindakan-tindakan ekstrem di televisi maupun media cetak,   kebiasaan jurnalistik di Norwegia dan Swedia ialah menyembunyikan nama dan   foto para pelaku kekerasan dan menahan diri untuk tidak mengidentifikasi,   kecuali apabila diperlukan untuk memenuhi tuntutan akan informasi yang adil   dan jujur, hasil dari kebiasaan ini ialah bahwa di kedua negara tersebut   tidak ada penjahat yang beken ataupun terjadinya kejahatan yang   meniru kejahatan itu. Ternyata,   kekhawatiran itu juga sangat dirasakan oleh pemerintahan yang berasal dari   negara industri perfilman terbesar itu. Lalu bagaimana dengan kita?. Seberapa   besar kekhawatiran kita terhadap pengaruh negatif media, maka sepantasnyalah   para pemerhati media harus turun tangan untuk memberikan pendidikan media   sejak dini secara kontinyu kepada masyarakat untuk menjadikan konsumeris yang   dewasa, cerdas dan kritis dalam memilih media mana yang layak untuk   dikonsumsi.  Sissela   Bok, 1998, menyebutkan bahwa compassion fatigue (keletihan yang   membuat kita tak sanggup lagi merasa terharu ataupun berbelas kasihan),   Empati dan perasaan sejenis itu membentuk landasan moralitas yang paling   mendasar. Kemampuan untuk berempati, untuk merasa bertanggungjawab atas   keselamatan orang lain, dan untuk berupaya membantu mereka, dapat tidak   tumbuh dan melemah sejak dini, bergantung pada pengalaman sejak dini dan   terhadap lingkungannya. _________________  * Oleh : Yusrianti   |