1
DILEMA ADINDA
Ketika hati telah mulai mengenal Allah dan rasa syukur
Saat itu pula tumbuh keyakinan bahwa
Rencana Allah lebih indah dari yang kita bayangkan
Adinda terbangun saat mendengar keributan yang terjadi di kamar orang tuanya. Setiap hari selalu seperti itu. Pertengkaran antara papa dan mamanya sudah biasa dan menjadi sarapan pagi bagi Adinda dan kakaknya, Dhisa. Adinda melirik jam weker di meja belajarnya, sudah pukul 03.00. Dia bangkit dari pembaringannya dan menuju kamar mandi di kamarnya untuk ambil wudhu dan melaksanakan shalat lail.
Dalam keheningan malam, Adinda hanyut dalam kekhusyuannya bermunajat kepada Sang Pencipta. Air matanya mengalir dalam doanya yang panjang. Setelah selesai, dia menggulung sajadahnya dan menyimpannya di ranjang. Suara pertengkaran papa dan mamanya terdengar semakin keras.
“ Hmmm… papa pasti pulang subuh lagi.” Batin Adinda, menebak penyebab keributan papa dan mamanya. Dia lalu mengambil terjemahannya dan mulai mentadabburi ayat-ayat Al-Quran. Pikiran dan hatinya terasa tenang dan damai.
Dengan langkah lemah, Adinda keluar kamar menuju kamar kakaknya. Dhisa pasti sedang lail dan tidak terpengaruh dengan keributan orang tuanya. Perlahan, adinda mengetuk pintu kamar Dhisa. Setelah beberapa menit mengetuk dan memangil-manggil akhirnya terdengar ada langkah kaki menuju pintu dan pintu kamar terbuka. Seraut wajah bening dan sedang memakai mukena muncul dari dalam.
“ Ada apa Din? ” Tanya Dhisa dengan suara lembutnya.
“ Maaf kalo Dinda ganggu kakak. Dinda mau pinjam kamus bahasa inggris kakak,bisa ga’ ? jawab Dinda lalu masuk kamar kakaknya.
“ Ga’ apa-apa, Din. Emang mau diapakan tu kamus, Dinda kan punya kamus sendiri? Anak bahasa inggris kok ga’ punya kamus… ” Kata Dhisa lalu menyerahkan kamus yang dipinjam adiknya.
“ Kamus Dinda ketinggalan di rumah Mita,kak. Ada tugas kuliah dari dosen yang harus Dinda kerjakan dan mau di kumpul ntar siang. Kakak ga’ masuk kuliah hari ini?”
“ Masuk , tapi jadwal kuliah kakak hari ini dipindahkan ke siang. Kenapa? Mau nebeng lagi ya? “ Tanya Dhisa menggoda adiknya.
Adinda tersenyum lalu mengangguk. Motornya masih di bengkel jadi sudah beberapa hari ini dia selalu nebeng di mobil kakaknya kalau ke kampus. Kedua kakak beradik itu memang kuliah di Perguruan Tinggi yang sama. Mereka kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Swasta yang terbilang unggulan. Dhisa sudah semester tujuh Fakultas kedokteran dan sedang praktek di salah satu Rumah Sakit dekat kampusnya juga, sedangkan Adinda mengambil jurusan Bahasa Inggris semester lima.
Walaupun mereka adalah anak dari pasangan suami istri pengusaha terkenal, tapi gaya hidup mereka tetap sederhana dan tidak berlebihan. Mereka bahkan tidak mau memanfaatkan fasilitas dan harta orang tua mereka. Untuk membiayai kuliah dan hidupnya mereka, Dhisa dan Adinda mengelola usaha butik peninggalan nenek mereka untuk mereka berdua. Dari usaha butik itu, mereka bisa mandiri. Dalam pengelolaan butik itu, mereka dibantu oleh beberapa karyawan yang dapat dipercaya. Jadi,mereka dapat leluasa beraktivitas di luar dengan tenang.
Sekarang Adinda juga sedang mengembangkan bakatnya dalam menulis cerpen dan novel. Alhamdulillah, dari honor menulisnya itu, dia dapat membeli motor.Jadi dia tidak perlu selalu minta diantar oleh kakaknya lagi setiap dia mau keluar. Namanya sebagai penulis muda juga cukup dikenal oleh anak-anak muda di kampus dan kotanya.
“ kayaknya ada perang lagi di rumah ini ya,Din? Papa dan mama berantem lagi. Selalu aja begitu. Setiap hari selalu saja ada keributan kalau papa dan mama ada di rumah.” keluh Dhisa.
“ Iya kak, Dinda juga merasa kayak gitu. Bahkan sikap mama dan papa ke Dinda itu ga’ pernah berubah sejak dulu. Selalu saja ada kebencian dan kesinisan dalam sikap mereka setiap ketemu dan bicara sama Dinda. Salah Dinda apa ya kak?” suara Adinda terdengar lirih dan sedih.
“ Udahlah, Din… ga’ usah dipikirkan. Nanti juga mama dan papa bakalan sadar en berubah kok. Kita sabar dan doain aja ya ! ”
Dhisa sendiri heran kenapa sikap kedua orang tuanya begitu dingin pada Dinda. Sejak Adinda kecil mereka tidak pernah menunjukkan rasa kasih sayang dan kelembutan sebagai orang tua padanya. Kadang dia sedih juga melihat sikap papa dan mamanya yang dingin pada adiknya itu, tapi kesedihannya tidak dia perlihatkan pada adiknya karena dia tidak mau Adinda jadi pemurung dan tumbuh jadi anak yang lemah.
“ Tapi dinda sedih, kak. Dinda kayak ga’ punya orang tua aja. Keberadaan Dinda ga’ berarti bagi papa dan mama. Kadang Dinda iri kalo liat teman-teman Dinda bisa bermanja-manja , bisa ngobrol dan ngomongin banyak hal, serta curhat pada orang tua mereka. Sedangkan dinda? Ga’ sedikit pun kasih sayang papa dan mama yang pernah Dinda rasain. Salah Dinda apa ya kak? ” Adinda mengungkapkan isi hatinya yang terpendam selama ini pada kakaknya. Mata gadis yang selama ini selalu tampil ceria di depan semua orang itu tampak tergenang oleh air mata yang sewaktu-waktu akan tumpah.
Dhisa meraih pundak adiknya lalu memeluknya dengan erat. Hatinya terenyuh melihat kesedihan adiknya itu.
“ Istighfar,Dinda.Jangan sedih. Allah dan kak Dhisa kan ada bersama Dinda? Allah akan selalu ada dan mendengarkan doa hambaNya yang beriman.Dia tidak pernah menutup mata dan menulikan telinga dengan keadaan hambaNYA. Semakin kuat iman seseorang maka cobaan yang Allah berikan semakin besar pula dan kita akan memiliki kekuatan untuk menghadapi setiap cobaan ketika kita selalu bertawakkal kepadaNYA. Dan insyaallah, Kakak juga selalu siap membantu saat Dinda butuh kakak. Kita ga’ boleh lemah dan harus saling menguatkan saat cobaan datang menyapa kita! “ Dhisa memberikan petuah dan menguatkan adiknya.
Adinda membalas pelukan kakaknya. Pertahanannya selama ini agar tidak menangis kini jebol di pelukan kakaknya. Dia tidak kuat lagi menyimpan kesedihannya.
“ Thanks ya kak, andai ga’ ada kak Dhisa yang selalu menguatkan Dinda, mungkin dinda ga’ akan sekuat ini menahan semua kesedihan Dinda.” Kata Adinda sambil terisak.
Dhisa mengangguk dan ikut menangis. Usahanya selama ini agar tidak menangis di depan adiknya tidak bisa dia tahan lagi. Kedua kakak beradik itu saling mencurahkan kesedihan yang mereka rasakan selama ini dalam dekapan erat mereka.
“ Astagfirullah… kok jadi cengeng gini. Katanya mau ngerjain tugas? Sana gih, kerja tugasnya.” Dhisa melepaskan pelukannya lalu menghapus air mata Dinda. Dia berusaha tersenyum untuk menguatkan adiknya.
Adinda mengangguk lemah dan berusaha tersenyum walau bentuk senyumannya hanya berupa garis tipis saja,senyuman kegetiran hidup.
“ Thank you sister. You’ re the best my sister. I miss you so much…, ” kata Adinda lalu mencium pipi kakaknya.
“ you’re welcome, sweety. Miss you too, and you always be a sweet girl for me. You and me must be stronge to face this life, oke?” Disha menyemangati dan mengelus pipi adiknya.
Adinda mengangguk lalu meninggalkan kamar kakaknya. Saat memasuki kamarnya, dia sudah tidak mendengar suara ribut dari kamar orang tuanya, mungkin mereka sudah lelah berantem.
Sudah tiba waktu subuh. Adinda mengambil air wudhu lalu melaksanakan kewajibannya sebagai umat muslim. Selesai shalat, dia membuka terjemahannya untuk pengkajian ayatnya. Setelah aktivitas wajibnya selesai, barulah dia mengerjakan tugas kuliahnya yang harus dikumpul siang ini.
**************************
Waktu menunjukkan pukul 13.00 ketika mobil Dhisa memasuki lapangan parkir kampus. Setelah mematikan mesin mobilnya, Dhisa dan Adinda keluar dari mobil lalu menuju ke gedung fakultas masing-masing.
“ Kakak tunggu kamu ntar di sekretariat ya, Din…” Teriak Dhisa sebelum menaiki tangga ke gedung G. Adinda hanya mengangguk lalu menghilang di balik gedung yang menjulang.
Ketika sampai di depan pintu ruang kuliahnya, Adinda melihat kedua temannya sedang ngobrol di ruangan dan sekali-kali melirik ke pintu seolah-olah sedang menunggu seseorang. Dan memang dari tadi mereka menunggu kedatangan Adinda. Melihat Adinda sudah datang, mereka langsung menyambutnya dengan senyuman cerah.
“ Naaah… tu dia orang yang dari tadi ditunggu-tunggu dah datang.” Kata Mita menunjuk Adinda.
“ Hmmm… ternyata aku orang yang selalu ditunggu-tunggu kedatangannya juga ya? Ada apa ni? Biasanya kalo ada maunya, begini nih modelnya. “ Ujar Adinda sambil meletakkan tasnya di meja.
“ Duduk dulu,Din… ada sesuatu yang pengen kami sampaikan sama kamu.” Kata Ayu.
Dengan perasaan penasaran, Dinda duduk di samping Ayu. Dia memandang wajah kedua sahabatnya yang tampak semangat sekali menatapnya.
“ Ada apa sih, kalian kok jadi aneh gitu? ” Tanya Adinda heran.
Mita dan Ayu tidak segera menjawab. Mereka sepertinya sengaja mau membuat sahabat mereka itu tambah penasaran.
Adinda yang sudah tau tabiat kedua sahabatnya itu pura- pura cuek dan memasang muka tidak berminat. Biasanya taktiknya itu berhasil dan itu memang mulai menunjukkan hasil. Akhirnya Mita dan Ayu tidak tahan sendiri melihat sikap Adinda. Mereka gemas melihat sikapnya yang cuek itu. Adinda menyembunyikan senyumnya melihat kedua sahabatnya manyun.
“ Adinda Dwi Putri Radiatuljannah… ! kamu kok segitunya sich? ” Sungut Mita menyebut nama lengkap Adinda yang tidak muat di absen.
Nama itu pemberian neneknya saat dia lahir. Namanya terpaksa disingkat menjadi Adinda DPR oleh dosen karena tidak muat di absen sehingga teman-temannya suka memanggil dia ibu anggota Dewan Pimpinan Rakyat.
“ Abis,kalian sich... masang muka ga’ jelas gitu.” Kata Adinda, “ kalo kalian tetap ga’ mau cerita, ya udah… aku mau ke perpus aja ! ” Dinda berdiri dan siap-siap mau melangkah.
“ Eits, jangan pergi. Kami mau nyampein kabar bagus nih ! “ Cegat Ayu memegang lengan Adinda.
Dengan gaya dipaksa-paksakan, Adinda duduk kembali di kursinya. Padahal sebenarnya dia tidak sabar mau dengar cerita sahabatnya.
“ Begini,Dinda… tadi ada pengumuman dari senior kalo di kampus akan diadakan perekrutan anggota baru di MAPALASTA. Sebelumnya kita kan pengen banget gabung di kelompok ini ? Waduh, senangnya bisa gabung dan berpetualang di alam terbuka. ” Mita bercerita dengan wajah cerah.
“ Iya, ya? Keinginan kita akhirnya akan tercapai tidak lama lagi. Kegiatan-kegiatannya pasti seru banget.” Kata Ayu pula membayangkan.
Dinda memandang wajah senang kedua sahabatnya itu. Wajahnya tampak bingung harus bilang apa pada Ayu dan Mita. Dia bingung bagaimana harus menjelaskan pada kedua sahabatnya itu kalau sebenarnya dia tidak berminat lagi gabung di MAPALASTA dan sekarang sedang bergabung dan aktif ikut pengajian di Komunitas Forum Dakwah kampus bersama kakaknya. Saat bergabung di organisasi ini, Dinda memang tidak membicarakan dan memberi tahukannya pada Mita dan Ayu karena dia pikir kedua sahabatnya itu tidak akan setuju. Ayu dan Mita memang sangat berharap mereka bertiga bisa gabung di kelompok MAPALASTA.
Kedua gadis yang sedang senang itu mendadak mengerutkan alis melihat respon Adinda yang biasa-biasa saja mendengar kabar gembira yang mereka sampaikan.
“ Lho, Dinda… kamu kok keliatannya ga’ senang? “ Tanya Ayu.
“ Ada apa, Din? Kamu kayak lagi nyembunyiin sesuatu dari kami… “ Mita memandang wajah Adinda.
Adinda jadi salah tingkah dan bingung harus mengatakan apa. Akhirnya dia cuma tersenyum dan pura-pura senang agar sahabatnya tidak curiga.
“ ak..aku…senang kok. Tadi tu cuma ga percaya aja ma kabar yang kalian sampaikan…,” Kata Adinda mengelak. Duh, maafin aku ya Allah karena harus berbohong. Mit, Ayu…maaf ya ! batin Adinda.
“ hahah… kami juga tadi sempat ga’ percaya kok dinda.” Kata ayu
“ Iya, aku ma Ayu tadi sampai hampir lompat-lompat kegirangan waktu denger pengumuman itu dari kakak senior.” Kata Mita pula.
Dinda berusaha tetap menunjukkan muka senang di depan sahabatnya. Dulu dia memang sangat berminat ingin masuk MAPALASTA tapi setelah mendengar cerita kakaknya, keinginannya langsung menguap. Kakaknya menceritakan kalau pergaulan anak-anak MAPALASTA di kampus mereka itu bebas. Bahkan ada teman kakaknya serta beberapa mahasiswi yang dihamili oleh pacar mereka yang sama-sama anggota MAPALASTA. Dhisa tidak mau Adinda terjerumus dalam pergaulan bebas seperti itu.
“ Ya udah, nanti kita bicarakan lagi ya? Aku mau ke perpus dulu cari referensi untuk novel terbaru aku. Lagi kejar deadline nih…” Kata Adinda berniat untuk menghindar dari teman-temannya. Dia segera meninggalkan Ayu dan Mita yang bengong melihatnya pergi.
“ Aku heran liat Dinda. Dia kayak nyembunyiin sesuatu dari kita deh, ” ayu mengungkapkan keheranannya.
“ Iya, sama. Aku juga ngerasa kayak itu kok. Akhir-akhir ini dia juga jarang ngumpul ma kita. Padahal Sesibuk-sibuknya dia selama ini, tapi waktu untuk ngumpul dengan kita selalu ada. Tapi sekarang dia udah beda banget. Sikapnya yang dulu blak-blakan kini berubah jadi alim gitu.” Kata Mita pula.
“ Sikapnya jadi mirip ma mbak Putri ya? Belakangan ini mereka juga keliatan akrab. Dinda jarang ikut ma kita lagi ke kantin saat istirahat en dia lebih suka diskusi ma mbak Putri di kelas. ” Kata Ayu.
Putri adalah teman seruangan mereka yang dikenal pendiam dan seorang mahasiswi jilbaber. Dia juga salah seorang pimpinan di Komunitas Forum Dakwah.
“ Udah ah, daripada pusing mikirin sikap Dinda yang ga’ jelas, mending ke kantin aja yuuk. Aku ga’ sempat sarapan tadi di rumah.” Kata Ayu lagi. Mita sepakat saja karena dari tadi perutnya juga sudah minta diisi.
Mereka berdua meninggalkan ruangan kuliah dan menuju kantin.
***************************************
Adinda melangkahkan kakinya menuju sekretariat KFD dengan wajah lesu. Mita dan Ayu sudah pulang duluan tadi karena hari ini Mita ada jadwal latihan karate dan Ayu harus latihan piano. Sebenarnya hari ini Adinda punya jadwal memberikan private Bahasa Inggris kepada siswa bimbingannya tapi jadwalnya ditunda dan dia pindahkan ke ahad sore. Setelah memberi salam dia masuk dan melihat teman-temannya sedang kumpul di ruang tengah sekret . Hari ini ada rapat panitia kegiatan seminar muslimah yang akan mereka laksanakan minggu depan di kampus.
“ Maaf ya, Dinda telat. Tadi lagi diskusi dengan teman-teman Dinda. ” Kata Adinda
“ Ga’ apa-apa,Din. Kita juga belum mulai kok. Kita masih nunggu Andris dan Ridho yang lagi dalam perjalanan dari antar undangan ke sekolah-sekolah.” Jawab Faiz, ketua umum Komunitas Forum Dakwah ini.
“ Oh ya, Permohonan pemateri dah tuntas belum, Dhis? ” Tanya Faiz kepada Dhisa yang menjadi penanggungjawab penuh seminar muslimah ini. Dhisa adalah ketua bidang keperempuanan di KFD.
“ Iya, tuntas. Vina dan saya sudah bawa surat permohonannya. “ kata Dhisa yang diiyakan oleh Vina, sekertarisnya.
Sambil menunggu, mereka diskusi-diskusi lepas. Adinda lebih suka memisahkan diri lalu melanjutkan ketikan novelnya.
“ Dinda berbakat sekali dalam menulis ya,Dhis? “ Vina menatap kagum pada Adinda yang asyik dengan ketikannya.
“ Iya, dia penulis muda yang cukup produktif. Aku suka ma karya-karyanya. Novel terbarunya yang berjudul, Ku Mendambakan kasih Ayah Bunda, top banget dech. Ceritanya mengharukan… ” Kata Anna yang dikenal oleh teman-temannya dengan hobbinya membaca novel.
“ Betul. Aku juga suka baca novelnya yang menceritakan tentang seorang kakak adik yang bernama Kasih dan Cinta. Mereka berjuang menjalani kesedihan dan kesepian hidup mereka yang ditelantarkan oleh orang tua karena sibuk dengan karier dan pekerjaan mereka. Keduanya selalu saling menjaga dan mendukung dalam suka maupun duka. Judul novelnya, Beningnya Kasih, Tulusnya Cinta.” Kata Atikah
Dhisa tersenyum mendengar komentar teman-temannya. Novel Adinda yang dimaksud oleh Anna dan dan Atikah itu merupakan pengalaman pribadi kehidupan Adinda dan dirinya sendiri yang dikemas oleh Adinda dalam sebuah cerita novel. Tokoh dalam novel Ku Mendambakan Kasih Ayah Bunda itu adalah Adin dan Adhis, nama kecil dari Adinda dan Adhisa. Nenek mereka biasa memanggil mereka dengan nama itu waktu mereka masih kecil. Dan tokoh yang berperan sebagai Kasih dan Cinta dalam novel Dinda yang satunya juga adalah tentang kisah Dia dan Dinda. Teman-teman dan pembaca bakalan menangis terharu jika mengetahui cerita dari kehidupan nyata dari tokoh-tokoh asli dalam novel itu.
“ Iya, bakat menulisnya itu sudah ada sejak di bangku sekolah. Sekarang dia menjadi orang yang dikenal dengan tulisannya itu. Dan saya harus berusaha keras untuk menjaga dan melindungi dia dari pergaulan bebas yang bisa menjerumuskan dia pada hal-hal yang tidak baik. Makanya saya ajak dia bergabung dengan kita, dan Alhamdulillah dia mau. Tapi saya tidak mau memaksakan dia untuk merubah penampilannya itu. ” Kata Dhisa sambil memandang adiknya.
Di antara semua muslimah yang ada di ruangan itu, hanya Dinda yang tampil beda dengan baju kaos oblong,celana jeans dan jilbab gaul yang bertengger di kepalanya. Itupun jilbab itu baru dia pasang saat menuju ke sekretariat. Walaupun dia gabung di organisasi islam seperti KFD, dia belum berniat langsung mau merubah penampilannya. Dan teman-temannya di KFD juga tidak memaksakan agar dia harus berubah secara drastis. Mereka lebih suka membiarkan teman-teman mereka yang baru bergabung untuk berposes.Tapi untuk menghargai kakak dan teman-temannya, dia tetap pakai jilbab saat ada kegiatan di sekret atau di komunitasnya itu. Jadi, ke mana-mana dia selalu membawa jilbab di dalam tasnya.
“ Biarkan dia berproses dulu, Dhis. Suatu saat hidayah itu akan datang padanya, dan dia akan berubah jadi lebih baik dengan sering ikut kajian. Apalagi saya liat Dinda orangnya selalu mau belajar dan melakukan perubahan pada dirinya. ” Kata Nurul
“ Iya,kak. Kita doakan saja semoga Dinda mendapatkan yang terbaik. Akhir-akhir ini, saat istirhat di ruangan, Dinda sering nanya-nanya ke aku masalah jilbab en busana-busana muslimah. Mungkin dia punya niat untuk merubah penampilannya. “ kata Putri.
“ Yang bener,Put? Alhamdulillah kalau dia sudah mulai nanya-nanya. Itu berarti perkembangan yang baik buat Dinda. Semoga saja adikku itu secepatnya mendapat cahaya hidayah di hatinya. “ Kata Dhisa agak senang mendengar ucapan Putri.
“ Amiin…” Semua yang ada di ruangan itu mengaminkan ucapan Dhisa. Adinda yang sedang asyik mencari inspirasi untuk novel terbarunya itu tidak mendengarkan pembicaraan kakak dan teman-temannya yang membicarakan dirinya di ruang tengah.
Saat semuanya sudah datang, rapatpun dimulai. Seperti biasanya, suasana rapat siang itu terasa hangat dan penuh kekeluargaan. Pembicaraan yang serius sering diselingi dengan canda. Tapi suasana hati Adinda tetap saja galau memikirkan pembicaraannya tadi siang dengan Ayu dan Mita tentang MAPALASTA. Dia bingung harus bagaimana. Haruskah dia mengikuti keinginan kedua sahabatnya, atau jujur pada mereka tentang keanggotaannya di KFD selama ini?
Sampai rapat selesai, Adinda belum menemukan jawabannya. Untunglah dia orang yang selalu bisa menyembunyikan perasaan sehingga teman-temannya tidak dapat menebak suasana hatinya saat itu. Kecuali kakaknya. Dalam keadaan seperti apapun, Dhisa selalu bisa menebak kondisi hati adiknya. Dia hafal sekali dengan sikap adiknya kalau sedang menghadapi masalah atau sedang memikirkan sesuatu.
“ Dari tadi kakak liat kamu bengong, sedang mikirin apa Din? ” Tanya Dhisa sambil menyetir mobilnya dengan hati-hati.
Adinda menarik nafas panjang sejenak lalu menghembuskannya pelan-pelan untuk melegakan perasaannya. Dia memandang kakak yang selama ini selalu mengerti keadaannya. Dia memang tidak bisa menyembunyikan apa-apa dari kakaknya itu.
“ Dinda… ditanya,kok malah bengong? Kamu sakit” Tanya Dhisa lagi
“ Nggak kok kak, Dinda sedang mikirin Ayu ma Mita aja. “ Jawab Dinda
“ Kenapa dengan mereka?”
Ketika sampai di taman yang tidak seberapa jauh dari rumah mereka, Dhisa menghentikan mobilnya lalu mengajak adiknya turun dari mobil. Mereka menuju ke sebuah bangku yang ada di taman itu.
“ Sekarang, ceritakan semuanya pada kakak apa yang membuat hati kamu gelisah! “
Adinda menceritakan semuanya kepada kakaknya, dan Dhisa mendengarkan dengan tenang penuturan adiknya. Setelah mendengarkan penjelasan adiknya, Dhisa menarik nafas sejenak.
“ Sebelum kamu masuk KFD kakak kan sudah bilang, kamu harus bicarakan hal ini pada Mita dan Ayu dulu. “ Kata Dhisa pelan
“ Terus, sekarang Dinda harus gimana dong kak? “
“ Sebaiknya kamu jujur saja pada mereka, Din. “
“ Tapi bagaimana kalo mereka marah sama dinda,kak? ”
“ Seorang sahabat yang baik akan mengerti dan mendukung keputusan sahabatnya untuk lebih memperbaiki diri. Apapun tanggapan mereka, kamu harus siap menghadapinya. Ikuti kata hatimu adikku, sebaiknya kamu istikharah untuk memilih jalan yang terbaik buat kamu.”
“ Baiklah kak, Dinda akan mengikuti saran kakak. ”
“ Ya udah kalo gitu. Semoga kamu bisa milih yang terbaik.Pulang yuuk, dah hampir masuk waktu ashar nih. ” Dhisa mengajak adiknya pulang lalu menuju ke mobilnya yang terparkir di pinggir taman.
Dinda mengikuti langkah kakaknya dengan harapan dia bisa menentukan pilihan dalam shalat istikharahnya.
**********************************
2
SEBUAH PENGORBANAN
Hari ini Adinda mau berangkat ke kampusnya sejam lebih awal agar bisa bicara dengan Ayu dan Mita sebelum dosen mata kuliah jam pertama masuk. Dia telah mengambil keputusan yang telah dipertimbangkannya dengan baik setelah shalat istikharah semalam. Hatinya mantap dengan hidayah yang telah dia dapatkan walau harus menanggung resiko.
Sebelum berangkat, dia mencari Dhisa di kamarnya. Tapi ternyata kakaknya itu sudah berangkat ke butik karena hari ini ada desain yang harus dia selesaikan. Walaupun calon dokter, tapi Dhisa sangat terampil membuat desain busana. Sebagian busana yang ada di butik mereka adalah hasil rancangan desain Dhisa sendiri. Kakaknya itu memang kuliah sambil mengambil kursus desain di tempat perancangan busana yang tidak jauh dari butik mereka. Niat Dinda untuk memperlihatkan sesuatu pada kakaknya tidak jadi pada pagi ini.
“ Ntar aja dech, kalo pulang dari kuliah aku samperin kakak di butik. Sekarang aku harus ke kampus dulu, bicara baik-baik ma Mita dan Ayu. “ Batin Dinda. Dia melangkah menuju garasi. Diliriknya mobil pemberian orang tuanya yang tidak pernah dia gunakan itu lalu mengeluarkan motor kesayangannya dari garasi, lalu berangkat ke kampus yang jaraknya sekitar setengah jam perjalanan dari rumahnya itu.
Semua mata mahasiswa Fakultas Bahasa memandang takjub pada satu titik makhluk manis yang baru saja memasuki gedung Fakultas. Mereka seakan melihat orang asing yang masuk ke kampus mereka. Karena tidak yakin, mereka mempelototi sosok gadis dengan busana muslimahnya itu tanpa berkedip beberapa saat. Dan pandangan mereka memang tidak salah, gadis itu adalah gadis yang sangat mereka kenal. Gadis yang selama ini selalu tampil modis dengan rambut panjangnya yang selalu terurai, kini telah menjelma menjadi gadis anggun dengan busana muslimah dan jilbab yang menutup kepala melewati dadanya. Gadis itu melangkah dengan agak canggung diperhatikan seperti itu.
Saat tiba di depan ruangannya, ada keraguan yang terpancar dari sikapnya untuk melangkah masuk. Namun setelah menarik nafas sejenak, dia akhirnya melanjutkan langkahnya untuk memasuki ruangan kuliahnya. Dan seperti yang dia bayangkan, semua yang ada di ruangan itu jadi melongo melihat penampilannya hari ini.
Dua orang gadis yang dari tadi asyik menyalin catatan, kaget setengah mati melihat sosok yang ada di depan mereka kini. Keduanya seperti melihat hantu di siang hari. Buku dan bolpoin yang mereka pegang tanpa mereka sadari terjatuh ke lantai.
“ Subhanallah… begitu ayu dan anggunnya dia dengan busana muslimahnya. Puji syukur ke hadiratMU ya Allah, akhirnya Engkau benar-benar mendatangkan cahayaMU di hati saudariku itu. “ Bisik seorang gadis berjilbab di bangku depan, yang tak lain adalah Putri. Dia khusyu memanjatkan puji syukur pada Allah dan tiba-tiba kekhusyuannya pecah oleh suara teriakan seorang gadis.
“ Dinda, apa-apaan sih kamu? “ Teriak Mita yang histeris melihat penampilan sahabatnya itu.
“ Kamu kesambet setan apa sampai merubah penampilanmu seperti itu? “ Timpal Ayu pula yang tak kalah histerisnya.
Adinda yang ditanya hanya diam dan menundukkan kepala. Hari ini dia siap menerima kemarahan kedua sahabatnya itu, tapi dia akan tetap dengan pendiriannya. Setelah menguatkan hatinya, akhirnya dia menceritakan semua yang dia sembunyikan dari kedua sahabatnya itu. Tidak ada lagi yang tersisa. Termasuk minatnya yang sudah pudar untuk masuk MAPALASTA dan niatnya yang mulai hari ini ingin merubah penampilannya.
Setelah mendengar penjelasan dari Adinda, terpancar kekecewaan dan kemarahan di wajah Mita dan Ayu. Mereka sangat tidak percaya dengan apa yang telah diceritakan oleh sahabat yang selama ini sudah mereka anggap saudara itu.
“ Maafkan aku Mita,Yu. Aku ga’ bermaksud mo ngecewain kalian. Tapi ku mohon pengertian dari kalian untuk tetap menerima dan mendukung keputusan aku ini… “ Adinda meminta maaf dan pengertian kedua sahabatnya itu.
“ Aku ga’ nyangka kamu setega itu ma kami Dinda. Kamu telah membohongi kami dan menghianati persahabatan kita selama ini. Kamu munafik Dinda, sama kayak si Putri itu ! ” Kata Mita menepis tangan Adinda yang mencoba meraih lengannya.
“ Pantesan aja kamu jarang ngumpul ma kami lagi beberapa bulan terakhir ini, Din. Kamu lebih banyak menghabiskan waktu dengan cewek munafik itu beserta teman-temannya. Ternyata dia yang mempengaruhi kamu. “ Kata Mita lagi sambil menunjuk Putri yang berjalan mendekat. Mita dan Ayu memang tidak pernah suka dengan gadis yang menurut mereka sok alim itu.
“ Astagfirullah, jaga ucapan kalian. Putri bukan gadis seperti yang kalian pikirkan. Dia tidak pernah mempengaruhi aku karena itu memang kemauan aku tanpa pengaruh dari siapapun. Kita tidak perlu ribut dan mari kita bicarakan ini baik-baik, malu tuh diliat sama teman-teman. “ Adinda mencoba melunakkan hati kedua sahabatnya yang sedang emosi. Suasana ruangan jadi heboh dan teman-teman mereka mengelilingi ketiganya.
“ Halah, kamu sudah pintar membela cewek muna itu karena kamu sama munafiknya dengan dia.” Bentak Ayu
“ Ayu, Mita… kita tidak perlu kayak gini. Kalian tetap sahabat aku, walau aku ga’ harus gabung di MAPALASTA. Aku ga’ larang kalian gabung ke sana, tapi maaf… aku ga’ bisa ikutan ma kalian. Ga’ selamanya kan kita harus sama-sama? “
“ Betul, Mita…Ayu, kalian tetap sahabat dan tidak perlu memutuskan hubungan silaturrahim di antara kalian.” Putri yang sudah berada di antara mereka ikut meredakan emosi Mita dan Ayu. Tapi bukannya reda, keduanya tambah emosi dan memandang benci padanya. Kebencian itu terpancar jelas di mata kedua gadis itu.
“ Diam kamu cewek muna ! semuanya ini gara-gara kamu. “ Tuding Ayu ketus pada Putri
“ Pokoknya, kamu pilih kami atau tetap bertahan dengan orang-orang sok alim itu! ” Ketus Mita memberikan pilihan yang sama sulitnya bagi Adinda. Namun adinda telah menduga ia akan menghadapi kondisi seperti itu, dan jawabannya telah ia siapkan sejak semalam.
“ Maafkan aku… aku sayang ma kalian, dan kalau bisa aku tetap mau bersahabat dengan kalian tanpa harus memilih seperti ini. Tapi kalo kalian tetap memaksa, maka aku lebih memilih tetap bergabung di KFD. Karena kata hatiku mengatakan seperti itu. ” Kata Adinda lirih. Dia tidak bisa membayangkan bagaiman perasaannya saat itu. Dia masih berharap kedua sahabatnya itu mau menerima keputusannya dan tidak mengakhiri persahabatan yang sudah mereka jalani sejak semester pertama itu. Tapi harapannya itu pupus dengan kekerasan hati kedua sahabatnya itu.
“ Kalo gitu, mulai sekarang kamu bukan bagian dari kami lagi. Persahabatan kita berakhir sampai di sini ! ” Kata Ayu marah dan mendorong Dinda sampai terjatuh lalu meninggalkan ruangan itu dengan air mata mengalir deras. Melihat Adinda terjatuh, bukannya menolongnya, Mita mengikuti langkah Ayu meninggalkan ruangan mereka dengan perasaan hancur. Dia tidak menyangka Adinda akan lebih memilih mengakhiri persahabatan mereka.
Kata-kata yang keluar dari mulut Ayu dan tindakan kasarnya membuat semua yang ada di ruangan itu tercengang. Semua teman seruangan bahkan sefakultas bahasa tau bagaimana persahabatan ketiga gadis itu selama ini. Selama di kampus, ke mana-mana selalu bertiga. Hampir tahun ke tiga mereka kuliah di Perguruan Tinggi ini, inilah perselisihan pertama yang mereka lihat yang terjadi pada ketiga sahabat itu dan berakhir pada pertengkaran yang hebat. Bahkan sampai memutuskan persahabatan mereka.
Putri dan teman-teman mahasiswinya, membantu Adinda berdiri dan membersihkan rok dan jilbab putihnya yang kotor oleh debu di lantai. Putri memeluk Adinda yang terisak sedih dengan perlakuan kedua sahabatnya. Yang lainnya ikut prihatin dan menyesali sikap kedua teman mereka yang mengambil langkah bodoh seperti itu.
“ Kamu yang sabar ya, Dinda. Aku bangga dengan pengorbanan kamu ini. Terkadang, kita memang harus berkorban perasaan demi sebuah perubahan yang lebih baik lagi.” Kata Putri menguatkan Adinda. Yang lainnya mengiyakan saja karena terharu melihat kesedihan gadis yang selama ini selalu baik pada semua orang itu. Kebaikan Adinda membuat mereka diam-diam kagum dan simpatik pada gadis itu.
“ Tapi aku sedih dengan sikap Mita ma Ayu, Putri. Persahabatan kami harus berakhir menjadi permusuhan seperti ini. ” Kata Adinda sedih. Air matanya terus mengalir tak terbendung lagi.
“ udah,Dinda.jangan sedih lagi. Semoga suatu saat mereka sadar dengan sikap bodoh mereka itu. Kamu kan tidak sendiri? Kami selalu siap jadi teman kamu. Iya kan teman-teman?” Kata Nani dan diiyakan oleh teman-teman mereka yang lain.
“ Iya, Dinda. Kamu tidak sepantasnya sedih kayak gitu, kan kamu punya banyak teman? Kamu baik, ga’ sombong, penulis terkenal lagi. Siapa sih yang ga’ mau jadi teman kamu? Mita dan Ayu aja tuh yang bodoh.” Kata Rani menghibur Adinda.
Adinda tersenyum dan sedikit terhibur dengan keberadaan teman-teman kuliahnya.
“ Ma kasih ya semuanya karena kalian sudah berusaha menghiburku.” Kata Adinda tulus dan terharu melihat usaha teman-temannya.
Adinda berusaha keras menetralisir perasaan sedihnya. Sekuat apapun dia mencoba untuk mempersiapkan dirinya dari kesedihan, tapi air matanya tetap tidak bisa dia tahan untuk tidak mengalir. Bagaimanapun juga hatinya tetap merasa sedih ketika dia harus mempertaruhkan dan mengorbankan persahabatan yang sekian lama dia bina bersama Mita dan Ayu.
“ Kami selalu ada buat kamu, Dinda. Kamu ga’ usah sesedih itu. Inilah yang terbaik buat kamu. Do’a kami selalu buat kamu dan semoga kamu akan selalu istiqamah dengan pilihanmu ini. “ Kata Putri menentramkan perasaan Dinda.
“ Udah, dinda… jangan sedih lagi. Cuci muka sana gih… dosen udah mo masuk tuh.” Kata Imra, teman sebangku Putri.
“ Iya, wajahmu kalo kusut kayak itu mirip ma nenek-nenek lho. Jelek banget…” Kata Rani bercanda membuat Adinda tersenyum melihat gaya Rani yang meniru lagak seorang nenek-nenek. Mereka menarik nafas lega melihat gadis itu sudah mulai tersenyum lagi.
Adinda menyeka sisa air matanya, lalu bangkit mau mencuci mukanya di kamar kecil diantar oleh Putri. Saat tiba di depan ruang lab komputer, dia ketemu dengan Mita dan Ayu yang mau menuju ruangan kuliah mereka. Saat bertemu pandangan dengan Adinda, keduanya langsung buang muka. Sikap mereka seakan tidak pernah kenal sebelumnya dengan Adinda. Apalagi saat melihat Putri bersama Dinda, kebencian mereka semakin tampak di wajah ketus keduanya.
Adinda tertegun melihat sikap kedua orang yang masih dianggapnya sahabat.
“ Ya Allah… kuatkanlah hatiku melihat sikap kedua saudaraku itu. Semoga kemarahan di hati mereka cepat padam Ya Allah…” bisik hati Adinda. Dia melirik keduanya yang menjauh dan tak menghiraukannya.
Putri memegang pundak Dinda yang tampak tercenung. Adinda tersadar dan berusaha tersenyum saat melihat Putri mengangguk memberikan semangat padanya. Setelah mencuci dan melap mukanya yang sembab, Adinda mengajak Putri kembali ke ruangan karena dosen mereka sudah hampir masuk.
Adinda terpaksa pindah tempat duduk di samping Putri karena saat dia masuk kelas tadi, tasnya sudah dipindahkan oleh Mita. Sementara Imra pindah ke belakang. Andaikan mau mengikuti emosi, teman-teman seruangan mereka sudah melabrak kedua gadis yang sok mengatur itu. Mereka punya hak dan kewajiban yang sama di perguruan ini dan tak seorang pun yang berhak mengatur-atur persoalan tempat duduk mereka. Semuanya bebas memilih mau duduk di mana. Kejengkelan mereka terpaksa harus ditahan karena Putri dan Adinda memberikan isyarat agar tak menghiraukan sikap kedua teman seruangan mereka itu. Sabar lebih baik daripada ribut dan memperpanjang masalah.
Mata kuliah hari ini Adinda ikuti dengan perasaan galau. Ingin rasanya dia cepat pulang dan menumpahkan semua kesedihannya dalam pelukan kakaknya yang selalu setia menjadi tempatnya meluahkan kesedihannya selama ini.
**************************************
Dhisa tak berkedip melihat gadis yang memasuki butiknya. Dia menatap ragu,tidak yakin dengan penglihatannya saat gadis itu tiba di depannya dan tersenyum padanya.
“ Subhanallah… Dinda, kakak sampai tidak bisa kenal kamu tadi. Kamu cantik banget dengan busana muslimah itu.” Kata Dhisa memeluk adiknya sambil tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Allah atas hidayah yang telah diberikan kepada adiknya itu.
“ Wah ! Dinda cantik banget… “ Puji Sofie,Desainer yang merangkap sebagai asisten Dhisa.
Gadis berjilbab itulah yang menggantikan Dhisa dan Adinda mengelola butik saat keduanya sibuk beraktifitas di luar butik. Dia yang paling senior di antara ketiga temannya di butik itu dan selesai kuliah D3 di Fakultas Tata Busana di perguruan tinggi tempat Dinda dan Dhisa kuliah. Tiga pelayan lainnya yang bernama Rista, Lia dan Indri cuma tamatan SMK jurusan Tata Busana.
“ Iya, betul. Mbak Dinda cocok banget dengan busana muslimah. Keliatan ayu dan anggun kayak Mbak Dhisa. ” Kata Rista. Dua temannya yang lain mengangguk, mengiyakan kata-kata kedua teman mereka itu.
“ Agak lucu sich liatnya. Mbak Dinda kan terbiasa pake jeans dengan gayanya yang modis itu? Hihi… “ Cekikik Indri, menggoda Dinda. Dia menghindar dari cubitan maut Dinda.
“ hihihi…indri betul, tapi lumayanlah… lebih enak dipandang mata! ” Lia ikut-ikutan cekikikan.
“ Ah kalian,ngeledek aja terus… awas lho, gajinya setaun aku sunat dan ga’ ada bonus buat kalian! “ kata Adinda pura-pura mengancam dan ngambek. Mereka tertawa melihat muka ngambek Adinda.
Hubungan antara keempat pekerja dengan Dhisa dan Adinda memang akrab dan sudah seperti sebuah keluarga. Mereka suka bercanda saat istirahat atau jika sedang tidak sibuk melayani pelanggan. Hubungan di antara mereka dengan kedua bos mereka itu selayaknya teman, bukan sebagai pemilik butik dengan pekerjanya. Dhisa dan Adinda juga lebih senang menganggap mereka sebagai teman dan keluarga.
“ Nanti juga kalo dah terbiasa dengan busana muslimah, Dinda ga’ akan canggung lagi kok . Kalian juga kayak itu dulu kan? Sekarang kalian udah merasa nyaman tuh makenya… “ Kata Sofie yang memang sejak kuliah dulu sudah berbusana muslim, membela Adinda.
Adinda tersenyum manis mendapat pembelaan dari Sofie.
“ Udah, Dinda jangan diledekin mulu kayak itu. Ntar butik ini banjir lho… “ Kata Dhisa ikut menggoda adiknya. Dia sangat bahagia melihat perubahan dari penampilan adiknya dalam berbusana itu. Rasa syukurnya tak henti-hentinya dia lantunkan di dalam hati.
Kesedihan Dinda hari ini yang dia bawa dari kampus terlupakan sejenak dengan candaan kakak dan teman-temannya di butik.
“ Dan sebagai ucapan syukur kita semua atas penampilan baru Dinda, butik ditutup lebih cepat sore ini. Dan kalian dapat tambahan bonus bulan ini.” Kata Dhisa yang disambut gembira oleh semuanya.
Mereka senang, karena hari ini pulang kerja lebih cepat dan punya kesempatan untuk istirahat dan refreshing dari pekerjaan yang mulai pagi sampai malam mereka lakoni dengan penuh tanggungjawab itu. Selain itu, mereka juga sangat bersyukur karena mereka dapat tambahan bonus lagi untuk bulan ini. Berarti, mereka bisa menambah tabungan dan mengirim sebagian gaji mereka untuk orang tua di kampung.
Kemurahan hati kedua kakak beradik itu telah banyak mereka rasakan dan membuat mereka senang dan betah kerja di butik. Selain sering dapat bonus, mereka juga di izinkan tinggal gratis di rumah besar peninggalan nenek Dhisa dan Adinda. Jadi mereka tidak perlu menggunakan separuh dari gaji mereka itu untuk bayar uang kontrakan. Dhisa dan Adinda juga sering membawakan mereka makanan, dan tak jarang keduanya menginap bersama mereka kalau sedang banyak pekerjaan di butik.
Dhisa mendekati adiknya yang sedang melamun di kamarnya. Sejak tadi dia menangkap ada kesedihan di raut wajah adikny itu, tapi dia sengaja menahan rasa ingin taunya karena tidak ingin membahas masalah pribadi di depan orang lain.
(Bersambung...................................)