Home » » Agama, Kekuasaan dan Tuna Kuasa

Agama, Kekuasaan dan Tuna Kuasa

Written By MUHAMMADIYAH BONE on Sabtu, 27 Agustus 2011 | 00.27


Yusran*

Memisahkan antara agama dan kekuasaan tidaklah mudah apalagi untuk menemukan relasi yang tepat antara keduanya. Agama merupakan keyakinan transendental yang senantiasa ditempatkan sebagai nilai yang luhur, murni, suci dan berlawanan dengan kekuasaan yang cenderung menindas, profan, tidak adil, dan pragmatis atau berorientasi materi semata seperti ungkapan populer power tends to corrupct.  

Kekuasaan adalah tema sentral dalam politik. Tak ada perdebatan yang lebih penting dalam ilmu politik selain mengenai kekuasaan. Kekuasaan dipandang sebagai jalan untuk mencapai tujuan tetaoi lebih banyak yang memandangnya sebagai tujuan itu sendiri. Miriam Budiardjo (2002) mendefenisikan kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku. Selaras dengan itu Ramlan Surbakti (1992) memahami kekuasaan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi.

Lord Acton mengatakan kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut akan korup secara absolut pula. Hal ini memberikan gambaran jelas bahwa kekuasaan menjadi baik ataupun buruk sangat bergantung kepada pemilik kekuasaan. Kekuasaan ditangan yang tidak tepat dijadikan sebagai alat untuk menundukkan, mengontrol, mengeksploitasi, menindas, dan melemahkan lawan politiknya sehingga kekuasaannya dapat bertahan dengan langgeng. Penguasa menjadikan kekuasaannya sebagai alat untuk membentuk pikiran dan pandangan orang lain diluar kekuasaannya sebagai yang lemah, yang tidak memiliki kemampuan untuk mengubah keadaannya dan akhirnya bergantung sepenuhnya kepada penguasa.

Penyalahgunaan kekuasaan dalam konteks pemerintahan dimulai dengan melakukan penyempitan kawasan pengambilan keputusan dengan tidak memberikan ruang bagi pihak diluar kekuasaan untuk ikut terlibat dalam proses tersebut. Hal ini menyebabkan proses pengambilan kebijakan hanya menjadi otoritas dalam lingkaran kekuasaan. Selanjutnya penguasa dengan segala cara berupaya membatasi partisipasi rakyat atau membungkam suara-suara perlawanan yang datang dari komunitas pro perubahan, baik itu dengan ancaman, teror, sabotase, penculikan, pencemaran nama baik, bahkan pembunuhan terhadap tokoh-tokohnya. Kasus hilangnya aktivis mahasiswa pada tahun 1998 dan kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir, mewakili tindakan penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya secara absolut. Untuk menyempurnakan hegemoni kekuasaannya, penguasa membentuk opini masyarakat bahwa penguasa/pemerintah telah melakukan yang terbaik untuk masyarakat dan orang atau kelompok yang tidak mendukung pemerintah adalah pihak yang bertanggungjawab terhadap keadaan carut marut bangsa secara totalitas.
pada sisi lain kekuasaan tidak berdiri secara tunggal tetapi mengandung nilai moral yang diyakini secara bersama. Ketika kekuasaan tidak menjadi tujuan melainkan sebagai alat untuk mencapai tujuan, maka kecenderungannya kepada ; pertama, pengambilan kebijakan tidak terbatas hanya dalam lingkaran kekuasaan, kedua, membangun partisipasi rakyat secara luas, dan ketiga, memiliki nilai luhur untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. 

Bahaya akibat dari penyalahgunaan kekuasaan tidak ada bedanya dengan dampak negatif dari tuna kuasa (powerlesness). Tuna kuasa dipahami sebagai ketidakkuasaan atau ketidakmampuan seseorang untuk keluar dari situasi yang tidak adil pada diri dan lingkungannya. Orang yang tuna kuasa memandang ketidakadilan dan penindasan yang dialaminya sebagai sebuah kenyataan harus diterima secara mutlak (Amien Rais, 2005).

Kondisi tuna kuasa seperti ini yang sedang dialami oleh masyarakat kita hari ini. Masyarakat tidak lagi peduli dengan kondisi diri dan lingkungannya, masyarakat tidak berani melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah, dan akhirnya secara tidak langsung kondisi ini melegitimasi hegemoni kekuasaan yang absolut. Orang atau masyarakat tuna kuasa bukannya tidak menyadari kondisi ketidakadilan yang dialami tetapi kekuasaan yang absolut melemahkan semangat dan rasa percaya diri masyarakat untuk keluar dari kondisi yang dialami tersebut.

Sila pertama Pancasila menggambarkan secara jelas bangsa Indonesia sebagai bangsa religius, yang menjadikan agama tidak saja sebagai keyakinan individu tetapi juga sebagai nilai yang mempererat hubungan masyarakat secara nasional. Maka sudah sepatutanya moralitas agama ditempatkan sebagai nilai utama yang mengarahkan dan mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk politik

Dalam kajian kontemporer, agama ditempatkan pada dua sisi yang bertolak belakang. Satu sisi agama adalah ajaran transendental yang menjadi kekuatan moral sekaligus sebagai alat legitimasi bagi mereka yang tak mampu bangkit dari ketertindasannya. Persoalan kemiskinan, ketimpangan sosila-budaya, marginalisasi dan eksploitasi dianggap hal yang given. Hal ini berangkat dari paham jabariyah (fatalistik) yang menyatakan bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang terjadi di dunia ini merupakan takdir Tuhan yang telah ditentukan dan tidak dapat diubah. Pada sisi lain agama ditempatkan sebagai ajaran yang menginspirasi manusia untuk melakukan perlawanan atau membebaskan diri dari ketertindasan, kemiskinan, kebodohan, dan tindakan eksploitatif secara struktural maupun kultural. Pandangan tentang agama sebagai nilai moral dan transendental an sich, memiliki kesamaan dengan pandangan Karl Marx tentang agama sebagai candu sekaligus alat pembenaran ketidakadilan sosial yang dialami dengan menjanjikan kebahagiaan sejati di akhirat kelak. Bahwa seluruh derita manusia termasuk didalamnya kemiskinan, ketidakadilan, penindasan akan mendapatkan balasan kebahagiaan di akhirat kelak.   
Menurut Frank Whaling, sebuah komunitas iman, bisa disebut sebagai agama manakala memiliki delapan unsur pokok di dalamnya. Salah satu unsur pokok itu adalah keterlibatan dalam kehidupan sosial dan politik (involvement in social and political contexts). Maka, agama layak disebut sebagai agama yang sejati apabila memiliki keterlibatan sosial dan politik, dimana perubahan sebagai inspirasi dan tujuannya sekaligus. 

Agama apapun terlebih lagi Islam sejatinya tidak melegitimasi ketertindasan yang dialami oleh penganutnya apalagi melegitimasi kekuasaan yang absolut, tetapi harus menjadi nilai yang mengontrol dan mengawasi kekuasaan sekaligus menjadi inspirasi yang menggerakan manusia untuk membebaskan diri dari ketertindasan yang dialaminya. Ketika agama hanya berada pada satu sisi maka ketimpangan akan tetap terjadi dan tidak akan pernah menyelesaikan hegemoni kekuasaan absolute terhadap mereka yang berada diluar kekuasaan dan mengalami ketidakkuasaan atau tuna kuasa.

Indonesia adalah negara yang berpenduduk mayoritas muslim dan memiliki tradisi Islam yang cukup lama, oleh karena itu wajar bila agama dipandang memiliki peran yang sangat penting dalam sejarah pembentukan bangsa. Hal ini ditandai dengan kedudukan tokoh-tokoh tradisional agama ditengah masyarakat yang sangat penting.   

Kekuasaan dalam pandangan agama merupakan amanat, bukannya berkah apalagi hak milik yang digunakan untuk mengeruk keuntungan materil sebanyak-banyaknya. Tanpa peran agama, kekuasaan seringkali disalahgunakan untuk mendapatkan fasilitas, menumpuk kekayaan, menakut-nakuti, bahkan melakukan tindakan kekerasan terhadap rakyat yang sesungguhnya telah memberikan mandat kepada penguasa (pemerintah). Jadi kekuasaan dalam terminologi agama merupakan titipan Allah Swt untuk mengayomi, melindungi, menyejahterahkan rakyat yang dipimpinnya. Namun sebaliknya jika kekuasaan ditempakan sebagai sesuatu yang dimiliki secara mutlak oleh penguasa, maka kekuasaan tidak lagi mendengar aspirasi masyarakat melainkan melakukan pengkhianatan terhadap kemanusiaan universal. 

Tuna kuasa (powerlessness) atau ketidakkuasaan semakin menguatkan hegemoni kekuasaan ketika peran agama hanya dipahami secara sempit sebagai nilai vertikal (hablumminallah) semata dan menggeser peran agama pada wilayah kemanusiaan (hablumminannas)nya. Sehingga memandang segala hal yang berkaitan dengan realitas kehidupan sosial, politik, ekonomi dan yang lainnya adalah otoritas Tuhan semata tanpa ada usaha dari manusia. Hal ini kemudian menggiring manusia untuk melupakan keadaan sesamanya (individualis) didalam menyikapi realitas kehidupan. Agama seakan-akan hanya memberikan rezeki kepada mereka yang memiliki kekuasaan tidak bagi mereka yang berada diluar lingkaran kekuasaan tersebut sehingga mereka mengalami ketidakadilan sosial dan kemiskinan struktural maupun kultural.
Agama (Islam) memberikan jaminan bahwa orang atau masyarakat tuna kuasa yang fatalistik tidak akan mampu untuk keluar dari keadaan yang dialaminya tanpa memberikan konstribusi secara nyata untuk memperbaiki keadaannya. Hal ini mengeaskan bahwa orang atau masyarakat yang mengalami ketidakadilan sosial dan penindasan harus menyadari untuk kemudian bangkit dari kondisi yang dialaminya, karena tanpa upaya dan usaha dari manusia maka tidak akan terjadi perubahan bagi individu maupun masyarakat.

Proses legitimasi kekuasaan oleh agama adalah upaya politisasi agama, atau menjadikan agama sebagai alat untuk kepentingan politik penguasa untuk mengalahkan lawan politiknya sekaligus melanggengkan kekuasaannya. Agama benar-benar telah disubordinasikan dalam wilayah-wilayah profan dan pragmatis Penguasa hanya memanfaatkan sentimen agama semata untuk mendapatkan dukungan masyarakat secara massif sekaligus memburamkan peran agama ditengah-tengah masyarakat.

Akhirnya patut untuk kita sadari bersama, bahwa kehadiran agama tidak diperuntukkan kepada Tuhan tapi bagi kemanusiaan sebagai spirit pembebasan dan perlawan manusia terhadap penindasan dan ketidakadilan sosial politik yang dialaminya. Agama menjamin hak yang sama bagi semua manusia untuk mendapatkan kesejahteraan, keadilan, kebahagiaan bagi umat manusia di muka bumi. Disinilah pentingnya kita menempatkan moral agama secara tepat sebagai nilai yang mengarahkan dan mengontrol kekuasaan dan menempatkan agama disisi lain sebagai keyakinan dan spirit untuk membangun kesadaran masyarakat untuk kritis terhadap kesewenang-wenangan penguasa dalam menggunakan kekuasaannya.






* Pemerhati masalah sosial
   Pemred Jurnal Pemikiran “Profetik” DPD IMM Sulsel




Share this article :

TULISAN TERPOPULER



 
Redaksi : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. MUHAMMADIYAH KABUPATEN BONE - All Rights Reserved